Suara.com – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin baru-baru ini menyebutkan satu dari 10 orang di Indonesia menderita gangguan jiwa. Hal ini juga mengikuti hasil penelitian kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018.
Namun, Budi mengatakan banyak kasus yang berkaitan dengan gangguan jiwa dan tidak terdeteksi di Indonesia karena tingkat skrining yang masih rendah. Menurut dia, pegawai di fasilitas kesehatan hanya memberikan diagnosa berdasarkan kuesioner.
Misalnya saja gangguan kecemasan yang masih sulit dideteksi. Ia menyarankan agar pemerintah meminimalisir kondisi tersebut sebelum pasien memburuk ke tahap depresi dan skizofrenia.
Sebab deteksi dini masih sebatas observasi dan manual. Oleh karena itu, menurutnya, Kemenkes akan mengupayakan deteksi dini gangguan jiwa yang lebih canggih ke depannya.
Kami akan meningkatkan skrining sehingga seluruh puskesmas dapat melakukan skrining kesehatan jiwa. “Karena angkanya (gangguan jiwa) sangat tinggi dan harus ditangani dengan lebih baik,” ujarnya.
Selain itu, Kementerian Kesehatan juga akan mencari fasilitas kesehatan khusus bagi pasien gangguan jiwa. Budi mencontohkan, jika seorang pasien terdiagnosis skizofrenia, ia harus dirawat, namun tidak harus di rumah sakit jiwa (RSJ), melainkan di tempat khusus di fasilitas kesehatan.
Sebab RSJ masih punya stigma, yakni jika ada pasien gangguan jiwa kondisinya lebih baik. Jadi hanya tenaga kesehatan atau masyarakat saja yang harus memantaunya.
“Karena RSJ melakukan stigmatisasi. Jadi WHO mendukung strategi kesehatan mental untuk mengembalikan mereka ke masyarakat jika memungkinkan,” kata Budi.
Anda tidak perlu malu masuk rumah sakit jiwa
Tidak dapat dipungkiri bahwa rumah sakit jiwa mempunyai stigma sebagai rumah bagi orang gila. Tak hanya dari namanya saja, bahkan banyak konten yang turut menimbulkan stigma buruk terhadap rumah sakit jiwa itu sendiri.
Persepsi rumah sakit jiwa bagi sebagian orang adalah sebagai tempat orang gila, orang kesurupan, dan orang hilang ingatan. Oleh karena itu, hal ini membuat pusat pengobatan psikiatris menjadi aib bagi seseorang atau suatu keluarga.
Padahal, secara umum keberadaan rumah sakit jiwa adalah untuk membantu penderita gangguan jiwa agar dapat dirawat dengan baik hingga terbentuk kondisi jiwa yang sehat. Nama rumah sakit pasti mempunyai tujuan akhir yaitu menyembuhkan pasien penyakit tertentu.
Konsultasi dengan psikiater dan konselor untuk mendapatkan informasi yang diperlukan sangatlah penting. Tidak perlu malu, karena jika Anda merasa badan Anda sakit, sebaiknya Anda memeriksakan diri ke dokter spesialis untuk memberikan pengobatan yang diperlukan.
Di sisi lain, stigma terhadap rumah sakit jiwa bukan hanya sekedar informasi mengenai perumahan bagi orang gila. Namun karena namanya, menurut dr. Pemberian nama Nikensari dengan menghilangkan kata “jiwa” memang mereduksi namun tidak serta merta menghilangkan stigma yang telah tercipta.
Pengaruh stigma masyarakat terhadap gangguan jiwa
Selain stigma seputar rumah sakit jiwa, penderita gangguan jiwa juga mendapat stigma kurang baik. Oleh karena itu, penderitanya merasa penyakit jiwa yang menimpanya merupakan suatu hal yang memalukan.
Merujuk pada penelitian Girm, individu yang mendapat stigma di masyarakat akan kesulitan dalam berinteraksi sosial, bahkan dalam kasus terburuk, individu bisa saja melakukan bunuh diri. Selain itu, penolakan pengobatan, penurunan kualitas hidup, berkurangnya kesempatan kerja, berkurangnya kesempatan memperoleh perumahan, berkurangnya kualitas pelayanan kesehatan dan berkurangnya harga diri.
Di sisi lain, dalam penelitian Mestdagh, stigma tidak hanya menimpa pasien, tapi juga masyarakat sekitar. Mereka takut jika ada klien gangguan jiwa di komunitasnya karena menganggap klien gangguan jiwa suka mengamuk dan menyakiti orang lain. Semua ini merupakan konsekuensi dari stigma gangguan jiwa.
Quoted From Many Source