Survei DFW Indonesia, implementasi kebijakan PIT dipertanyakan



DFW Indonesia menyampaikan bahwa pelaksanaan PIT memerlukan infrastruktur, birokrasi, dan sumber daya manusia yang siap. Apabila ditelusuri lebih jauh persepsi responden terhadap kesiapan penerapan PIT, mayoritas responden mengidentifikasi kesiapan sumber daya manusia sebagai tantangan utama dalam penerapan PIT, seiring dengan kejelasan informasi mengenai PIT.

“Permasalahan ini tentunya tidak lepas dari sosialisasi yang kurang efektif dan pemahaman petugas yang terbatas mengenai PIT serta sering menemukan penjelasan yang berbeda-beda. “Jika petugasnya sendiri tidak memahami PIT secara mendalam, jelas akan mempengaruhi kualitas pelaksanaannya,” kata Peneliti DFW Indonesia Felicia Nugroho dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (22/11).





Survei tersebut disebar secara online pada 11 Oktober hingga 4 November dengan jumlah responden 202 orang di 14 provinsi di Indonesia. Di antara responden, pelaku usaha penangkapan ikan mendominasi (28 persen), disusul oleh awak kapal ikan (20 persen) dan nelayan kecil (19 persen). Berdasarkan tempat tinggal, responden terbanyak berada di Sulawesi Utara (23,88 persen), Maluku (15,42 persen), dan Sulawesi Tenggara (12,99 persen), dengan daerah tangkapan air di Zona 3 (43 persen) dan Zona 2 (21 persen).

Felicia melanjutkan, salah satu mekanisme pelaksanaan PIT adalah dengan aplikasi E-PIT, dimana nakhoda kapal memasukkan data jumlah hasil tangkapan untuk langsung menentukan besarnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang perlu dilakukan. dibayarkan kepada pemerintah. Namun sebanyak 36,7 persen mengaku belum mengetahui tentang aplikasi E-PIT.

“Tantangan lainnya, menurut responden survei ini, adalah infrastruktur yang tidak siap, seperti tempat penimbangan atau tempat pendaratan ikan, berpotensi menurunkan kualitas ikan karena harus terkena sinar matahari. “Beberapa responden juga menggambarkan proses bongkar muat ikan lebih lama sehingga mengakibatkan waktu tunggu awak kapal dan kapal untuk parkir menjadi lebih lama,” jelasnya.

READ  Resmikan Kantor DPW PPP Sulsel, Mardiono: Kantor Pelayanan Masyarakat

Dengan segala keterbatasan dan kekurangannya, responden survei menganggap konflik antara nelayan lokal dan perusahaan asing merupakan permasalahan yang paling penting untuk diantisipasi. Hal ini diduga akibat adanya pembagian kawasan industri dan kawasan perikanan yang membatasi wilayah penangkapan ikan tradisional hanya 12 mil, serta migrasi izin dari daerah ke pusat.

“Potensi masalah lainnya adalah konflik antar nelayan dan kekhawatiran penyalahgunaan kuota tangkapan. “Saat ini pemerintah belum membuat aturan mengenai mekanisme pembagian kuota,” ujarnya.

Namun, lanjut Felicia, dengan tidak adanya keterlibatan nelayan tradisional dalam pengambilan kebijakan, tentu tidak berlebihan jika ada kekhawatiran kuota tersebut akan dikuasai oleh sekelompok kecil pengusaha.

“Dengan kata lain, oligarki maritim akan berkembang dan berkonsolidasi. “Jika tidak dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab, kuota juga bisa menjadi sarang rent-seeking,” tegasnya.

Responden diberikan pertanyaan terbuka mengenai saran dan rekomendasi jika kebijakan PIT tetap diterapkan pada tahun 2024.

Terkait hal tersebut, DFW Indonesia mengeluarkan enam rekomendasi yang dapat disimpulkan. Felicia berharap dapat membantu pemerintah dalam menjamin efisiensi dan kesejahteraan nelayan melalui penerapan PIT.

“Pertama, perlunya pemerintah fokus pada nelayan dalam penerapan aturan PIT, termasuk penerapan kuota, e-PIT, dan PNBP pasca produksi. Kedua, memastikan kejelasan penjelasan kebijakan yang diberikan petugas pelaksana dan pemerataan daerah terkait alokasi kuota tangkapan, jelasnya.

Ketiga, lanjutnya, responden ingin menyederhanakan proses perizinan dan administrasi serta memberikan kewenangan kepada TSO di daerah untuk melaksanakan PIT.

Keempat, pemerintah disarankan untuk memastikan kesiapan petugas, anggaran dan infrastruktur sebelum melaksanakan PIT di 171 pelabuhan yang menjadi sasaran kebijakan PIT. Selain itu, diperlukan pengawasan yang jujur ​​dan transparan terhadap timbangan di pelabuhan.

READ  Rencana Pengembangan Global Di Ternate Sukses

Kelima, memberikan perlindungan kepada nelayan kecil dari kapal asing atau investor yang melakukan kegiatan penangkapan ikan skala besar yang merusak sumber daya ikan dan lingkungan. “Dan keenam, perlu adanya kajian kesiapan dan kemungkinan penundaan pelaksanaan jika diperlukan,” jelasnya lagi.

Berdasarkan hasil survei singkat DFW Indonesia, Ocean Solutions Indonesia dan Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta, penerapan kebijakan PIT ini masih jauh dari siap untuk diterapkan pada tahun 2024.

“Beberapa infrastruktur dan kesiapan pelaksana diragukan siap diterapkan di 171 pelabuhan di Indonesia. “Kajian persepsi masyarakat terhadap PIT ini menyoroti ketidakpuasan terhadap kebijakan PIT, dimana banyak kritik dan potensi dampak kerugian yang akan dirasakan oleh nelayan kecil dan tradisional,” jelas Felicia.

“PIT dinilai lebih menguntungkan korporasi dan modal asing dibandingkan nelayan lokal, dimana kegiatan penangkapan ikan dalam skala besar justru mengeksploitasi sumber daya ikan dan berpotensi merusak lingkungan,” ujarnya.

Temukan berita terkini tepercaya dari kantor berita politik RMOL di berita Google.
Mohon mengikuti klik pada bintang.



Quoted From Many Source

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *